Sebelas asumsi keliru tentang harga listrik PLTN

17Jun07

Perhitungan keekonomian PLTN selalu menjadi bahan kontroversi yang tiada habisnya. Kalangan industri nuklir dan pihak-pihak lain yang pro nuklir selalu menyajikan perhitungan biaya listrik PLTN yang terlampau optimistik. Berikut ini adalah 11 kekeliruan asumsi yang menyebabkan biaya PLTN kelihatan murah.

1. Biaya konstruksi 1000-2000 USD/kW

Biaya konstruksi PLTN diasumsikan secara optimistik sebesar 1000-2000 USD/kW (OECD, 2005; MIT, 2003; DGEMP, 2003; CERI, 2004). Untuk menguji validitas asumsi tersebut kita bisa mengambil contoh kasus pembangunan PLTN Olkiluoto. Kasus ini cukup menarik karena merupakan kontrak pembangunan PLTN yang masih baru, proses transaksinya relatif terpantau serta besaran-besarannya bisa diukur. Nilai kontrak tersebut juga dipakai sebagai acuan dalam berbagai studi keekonomian PLTN akhir-akhir ini (RAE, 2004; DTI, 2007).

Nilai kontrak pembangunan PLTN Olkiluoto yang berkapasitas 1600 MW adalah 3 milyar Euro atau sekitar 2450 USD/kW. Angka ini belum termasuk penalti keterlambatan konstruksi yang harus ditanggung oleh Areva (sebagai vendor) yang besarnya mencapai 500 juta USD (AFX News Limited, 5 Dec 2006). Ini berarti harga konstruksi yang sesungguhnya setidaknya 30 persen lebih tinggi dari asumsi tertinggi diantara semua laporan yang disebutkan. Pembengkakan biaya konstruksi sebesar itu akan meningkatkan biaya pembangkitan sekitar 17 persen (DTI, 2007).

Pada kasus lain, perusahaan listrik negara Perancis (Electricité de France) memperkirakan biaya konstruksi untuk pembangkit serupa yang akan dibangun sebesar 3,3 milyar Euro (harga 2006) alias lebih mahal 6 persen (setelah disesuaikan dengan faktor inflasi) dari nilai kontrak PLTN Olkiluoto. Ini membuktikan bahwa efek learning by doing untuk “the first of a kind engineering” (FOAKE) yang selalu digembar-gemborkan industri nuklir ternyata tidak terbukti.

2. Discount rate 5-7%

Discount rate yang sering digunakan dalam perhitungan adalah 5-7 persen per tahun. Dalam prakteknya, discount rate sebesar itu terlalu rendah, apalagi untuk investasi dengan resiko tinggi seperti PLTN. Khusus bagi negara berkembang dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, discount rate sebesar itu jelas terlampau kecil. Dari studi OECD (OECD, 2005), tampak bahwa peningkatan discount rate dari 5 menjadi 10 persen akan meningkatkan biaya pembakitan sekitar 50 persen. Studi yang lain (DTI, 2007) menunjukkan bahwa peningkatan discount rate dari 7 menjadi 12 persen akan meningkatkan biaya pembangkitan sebesar 36 persen. Ini menunjukkan betapa harga pembangkitan sangat sensistif terhadap asumsi discount rate yang digunakan.

3. Capacity factor/energy availability factor = 90%

Capacity factor yang digunakan dalam berbagai perhitungan keekonomian PLTN berkisar antara 85 (OECD, 2005) hingga diatas 90 persen (DGEMP, 2003; Tarjanne, 2003; RAE, 2004). Sementara itu, fakta menunjukkan bahwa selama hingga tahun 2005, 57 persen dari seluruh reaktor daya di dunia memiliki capacity factor  energy availability factor akumulatif kurang dari 80 persen dan hanya 18 persen yang memiliki capacity factor energy availability factor di atas 85 persen. Sejak tahun 1999 hingga 2005 praktis tidak ada peningkatan berarti dalam capacity factor energy availability factor (IAEA, 2006b). Capacity factor memang tidak sama dengan energy availability factor, namun estimasi capacity factor dengan menggunakan energy availability factor masih cukup memadai bahkan umumnya memberikan hasil yang lebih optimistik. Perlu dicatat bahwa turunnya asumsi capacity factor dari 85 menjadi 75 persen mengakibatkan kenaikan biaya pembangkitan sebesar 12 persen (MIT, 2003).

4. Lama konstruksi 4-5 tahun

Lama waktu konstruksi PLTN selalu diasumsikan tidak lebih dari 5 tahun. Di atas kertas memang tidak mustahil. Akan tetapi kendala non teknis dan kurangnya pengalaman menyebakan waktu konstruksi bisa jauh lebih lama. Data menunjukkan bahwa rata-rata lama waktu konstruksi dari 72 reaktor di dunia yang dibangun selama periode 1990-2005 adalah 8,5 tahun (IAEA, 2006a). Perlu diingat bahwa perubahan lama kontruksi dari 5 menjadi 7 tahun saja akan meningkatkan biaya pembangkitan sebesar 13 hingga 15 persen (UoC, 2004).

5. Umur keekonomian 40-60 tahun

Umur keekonomian selalu diasumsikan 40 tahun, bahkan ada yang menyebut 60 tahun. Padahal data menunjukkan bahwa rata-rata umur komersial PLTN yang telah ditutup (shut down) hingga akhir tahun 2005 adalah 20,4 tahun. Delapan puluh empat persen dari reaktor tersebut memiliki umur kurang dari 30 tahun dan hanya 8 persen yang memiliki umur komersial lebih dari 40 tahun (IAEA, 2006a). Penurunan umur komersial dari 40 menjadi 25 tahun akan meningkatkan biaya pembangkitan sekitar 4,5 persen (MIT, 2003).

6. Fuel cycle cost = 0,5 sen USD/kWh

Dalam perhitungan biaya pembangkitan listrik PLTN, harga fuel-cycle diasumsikan sangat rendah yaitu sekitar 0,3 hingga 0,6 sen USD/kWh (OECD, 2005) dengan asumsi harga uranium yang stabil.

Salah satu penyebabnya karena perhitungan tersebut sebagian besar mengacu pada data tahun 2003, dimana saat itu harga uranium masih murah yaitu sekitar 12-15 USD/lb. Kenyataannya, harga uranium saat ini sudah mencapai 135 USD/lb dan diperkirakan masih akan terus bergejolak. Selama tahun 2007 saja telah terjadi kenaikan harga uranium sebesar 80 persen. Sejak tahun 2003, biaya konversi dan pengayaan juga mengalami kenaikan berturut-turut sebesar 100 dan 30 persen. Jika semua diperhitungkan maka biaya fuel-cycle bisa meningkat hingga lebih dari 3 kali lipat. Kenaikan tersebut akan menaikkan biaya pembangkitan setidaknya 20 persen.

Perkiraan biaya juga dapat dilakukan dengan cara menghitung setiap komponen biaya sesuai dengan metode yang disajikan dalam laporan MIT (2003) dengan menggunakan penyesuaian asumsi sebagai berikut:

Harga uranium: 80-135 USD/lb
Conversion: 10-15 per kg U
Enrichment: 100-150 per SWU
Fuel fabrication: 150-350 per kg U
Plant efficiency: 33%
Burn up: 40-50 GWd/tU
Spent fuel management: 400 USD/kg spent fuel

Batas atas dan bawah untuk biaya conversion, enrichment dan fabrication mengacu pada Bunn (2004). Perhitungan ini menghasilkan fuel cycle cost sebesar 1,0 hingga 2,1 sen USD/kWh. Artinya tiga hingga empat kali lipat harga fuel cycle cost yang selama ini sering digunakan sebagai asumsi.

7. Decommissioning cost is nothing

Biaya decommissioning sering diabaikan karena dianggap terlalu kecil. Mengapa ini bisa terjadi? Pertama, karena asumsi biaya decommissioning umumnya dibuat sangat optimistik (under-estimated). Kedua, karena decommissioning dilakukan di akhir pengoperasian PLTN (30 hingga 60 tahun setelah pembangunan dimulai) maka dengan asumsi discount rate normal akan menghasilkan net present value yang sangat rendah.

Pada kenyataannya, belum ada data pasti yang bisa dijadikan acuan dalam menghitung biaya total decommissioning. Biaya beberapa proyek decommissiong yang ada saat ini belum menggambarkan seluruh pengeluaran yang sesungguhnya, mengingat total waktu decommissiong bisa mencapai ratusan tahun dari sejak dimulainya proses. Di Inggris misalnya, selama 15 tahun terakhir estimasi biaya decommssioningg telah membengkak hingga 6 kali lipat.

Kalaupun dana decomissioning dikumpulkan sejak awal pengoperasian, menajemen dana tersebut juga tidak mudah serta memiliki resiko yang tinggi. Salah satu resikonya adalah berupa kesalahan pemilihan jenis investasi, kebangkrutan perusahaan, atau korupsi. Kejadian mismanajemen dana decommissioning di Inggris membuktikan betapa tidak mudahnya mengelola dana seperti itu (Greenpeace, 2007).

8. Biaya pengelolaan limbah dapat diabaikan

Biaya pengelolaan limbah khususnya pembuangan akhir limbah (final repository) sering diabaikan dalam biaya pembangkitan. Sampai saat ini tidak ada data yang bisa diandalkan untuk memperhitungkan besarnya biaya tersebut. Hal ini dikarenakan belum ada satu negara pun di dunia yang telah berhasil membangun final repository. Perkiraan biaya bervariasi antara 2,5 milyar USD di Swedia hingga 43 Milyar USD di Amerika Serikat. Sudah 5 milyar USD digelontorkan oleh pemerintah AS untuk perencanaan pembangunan final repository di Yucca Mountain, sementara hingga kini belum ada kejelasan kapan akan dibangun apalagi bisa digunakan. Hal ini karena aspek kelayakan proyek tersebut belum jelas baik secara teknis maupun hukum (Inman, 2005). Selama ini semua aspek ketidakpastian tersebut tidak turut dipertimbangkan dalam menghitung biaya pembangkitan PLTN.

9. Biaya resiko kecelakaan sangat kecil

Industri nuklir selalu mengkalim bahwa kemungkinan kecelakaan nuklir sangat kecil, sehingga biaya resiko kecelakaan relatif kecil. Kenyataannya, kecilnya biaya resiko kecelakaan tersebut disebabkan adanya subsidi dalam bentuk aturan yang yang membatasi tanggungjawab operator PLTN jika terjadi kecelakaan. Diantara aturan-aturan tersebut antara lain adalah Price-Anderson Act di AS, Nuclear Liability Act 1976 di Kanada, Energy Act of 1983 di Inggris, dan aturan-aturan serupa di negara-negara lain. Untuk level internasional ada Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage dan Paris Convention on Third Party Liability in the Field of Nuclear Energy. Dengan adanya aturan-aturan tersebut maka jika terjadi kecelakaan besar, sekelas Chernobyl misalnya, klaim kerugian yang lebih dari jumlah tertentu akan ditanggung oleh negara (masyarakat). Tanpa adanya aturan tersebut industri tidak akan berani mengambil resiko membangun PLTN karena biaya resikonya yang terlalu besar. Sebagai gambaran, jika tanggungjawab operator PLTN di Perancis tidak dibatasi, artinya sepenuhnya menggunakan perhitungan asuransi kecelakaan industri yang berlaku pada umumnya, maka harga pembangkitan listrik PLTN di negara tersebut akan lebih mahal 5 sen USD/kWh alias tiga kali lipat dari harga saat ini (Leurs dan Wit, 2003).

10. Biaya riset dan pengembangan adalah nol

Terlepas dari kenyataan bahwa teknologi nuklir sudah tergolong pemain lama dalam penyediaan energi, selama tahun 1991 hingga 2001 energi nuklir masih menghabiskan 50 persen dari seluruh anggaran penelitian pemerintah di bidang energi di negara-negara OECD, jumlah tersebut setara dengan 43 milyar USD (Scheneider, 2004). Padahal kontribusi nuklir dalam penyediaan energi di negara-negara tersebut kurang dari 10 persen. Subsidi dalam bentuk dana riset tersebut tentu tidak pernah dimasukkan dalam perhitungan biaya PLTN.

11. Tak ada subsidi untuk PLTN

Di sejumlah negara, PLTN mendapat berbagai bentuk subsidi. Di AS misalnya, ada production tax credit sebesar 1,8 sen USD/kWh untuk PLTN baru selama delapan tahun pertama masa pengoperasian. Subsidi yang lain diberikan dalam bentuk penjaminan hutang, pemberian pinjaman dengan bunga yang sangat rendah, kredit ekspor (yang diberikan kepada vendor PLTN) dan sebaginya. Subsidi-subsidi tersebut jelas memberi andil dalam membentuk persepsi keliru tentang PLTN yang murah.

Dengan semua kenyataan tersebut masihkah PLTN dianggap sebagai alternatif pembangkitan energi yang murah?

Referensi:

  • B.A. Leurs and R.C.N. Wit. 2003. Environmentally Harmful Support Measures in EU Member States.
  • M. Bunn, et. al. 2004. The Economics of Reprocessing versus Direct Disposal of Spent Nuclear Fuel. Fuel Cycle and Management. Dec. 2004.
  • Canadian Energy Research Institute (CERI). 2004. Levelised Unit Electricity Cost Comparison of Alternative Technologies for Baseload Generation in Ontario.
  • Kementrian Ekonomi, Keuangan dan Industri Perancis (DGEMP). 2003. Reference Costs for Power Generation.
  • Department of Trade and Industry, UK (DTI). 2007. Nuclear Power Generation Cost Benefit Analysis.
  • IAEA. 2006a. Nuclear Power Reactors in the World. April 2006.
  • IAEA. 2006b. Operating Experience with Nuclear Power Stations in member States in 2005.
  • Greenpeace. 2007. The Economisc of Nuclear Power.
  • Massachusetts Institute of Technology (MIT). 2003. The Future of Nuclear Power.
  • M. Schneider, A. Froggatt. 2004. The World Nuclear Industry Status Report.
  • M. Inman. 2005. Down to Earth: Lingering Nuclear Waste. Science Magazine. Agustus 2005.
  • OECD. 2005. Projecting Cost of Generating Electricity.
  • Royal Academy of Engineering (RAE). 2004. The Cost of Generating Electricity.
  • The University of Chicago (UoC). 2004. The economic future of nuclear power.

 




21 Responses to “Sebelas asumsi keliru tentang harga listrik PLTN”

  1. terima kasih infonya.

    salam kenal,
    (^_^)
    adi.n

  2. Saya melihat sepertinya data-data dari infoenergi cukup akurat. Bukan sekedar karena semakin banyaknya referensi trus menyebabkan sebuah analisa menjadi lebih bagus. Itu hanyalah statistik. Jumlah data bukan menunjukkan keakuratan analisa. Verifikasi tiap-tiap data perlu diketahui juga, trace back dari pensitiran akan menambah keyakinan atau bahkan menjadi meragukan bisa saja terjadi.. Misal latar belakang dibuatnya laporan/artikel dsb.

    Tetapi sepintas saja performa PLTN yang ada, yang diuraikan oleh mas Info justru menunjukkan masih jauh lebih bagus dari PLTUap menggunakan batubara (PLTBatubara) ataupun diesel (PLTDiesel) … misal kapasitas, usia dan juga lainnya.
    Hanya sayangnya cotoh risiko kecelakaan yang diambil terlalu ekstrim menggunakan chernobyl dimana tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Walaupun jelas itu sebuah riil data chernobyl cenderung berupa anomalous yg kurang cocok sebagai pembanding atau tolok ukur.

    Juga kalau ditambahkan pembandingan yang “setara” dengan PLT lain … misal risiko lingkungan radiasi dibanding risiko emisi karbon mestinya bisa sebandingkan dengan angka.

    Soal sumber alam uranium di dalam negeri, ini penting untuk pasokan. Dan seperti yang dikutip pak koesmayanto (menristek) bahwa jumlah cadangan yang disebutkan hanya tahan 11 tahun. Padahal data seharusnya dibaca sejumlah 24.112 Ton (hanya potensi yang di Kalbar) setara kalau dipakai utk 3GW memang 11 tahun tetapi kalau kapasitas PLTNnya hanya sepertiganya 1GW tentusaja bisa 33 tahun … gitu kali ya ?. Artinya pasokan bisa saja terjamin. Namun yang jauuh lebih penting apakah sudah dimulai juga ekplorasi dan eksploitasinya. Dan ingat itu HANYA kalbar. Yang lain belum terhitung.

    Sepertinya ada yang missed dari sisi eksplorasinya dan eksploitasinya, semestinya sudah harus dimulai dan perlu juga regulasi adanya jaminan pasokan dalam negeri seperti DMO (domestic market obligation) di dunia MIGAS.

    Nah adakah yang bisa membandingkan dengan melihat ke 11 faktor yg dibuat mas info utk pembangkit2 lain (misal PLTA PLTGeothermal, PLTMatahari, PLTArus, PLTAngin dll ?

    Nanti mana yang terbaik itu yang dipilih …. bahwa PLTN mahal itu jelas, namun yang lain belum tentu lebih murah …

    Dongeng Geologi.wordpress.com

  3. 3 eko

    data yang dipaparkan terlihat akurat.
    memang dari sini terlihat bahwa PLTN terlihat mahal, hal ini bertolak belakang dengan promosi yang dilakukan pemerintah dalam hal ini batan.
    untuk tambang uranium dikalbar maupun diwilayah lain diIndonesia dari beberapa analisa media yang saya baca mengatakan bahwa kandungan uranium diIndonesia tidak cukup ekonomis untuk diexplore karena lapisan uranium diindonesia tipis hanya sekitar 0,5 meter berbeda dengan lapisan uranium di negara lain seperti kanada,perancis dan australia yang mencapai ketebalan 2 meter. kalau untuk jumlah kandungan total memang banyak tapi dari lapisan yang tipis ini akan sangat merugikan alam dan perusahaan yang mengexplorenya.
    untuk aturan yang terkesan menganak emaskan PLTN indonesia juga punya,salah satunya yang tercantum pada UU no 10 tahun 1997 bab VII pasal 34 yang isinya:
    pertanggungjawaban pengusaha instalasi nuklir terhadap kerugian nuklir paling banyak Rp.900.000.000.000,00(sembilan ratus milyar rupiah)untuk setiap kecelakaan nuklir, baik untuk setiap instalasi nuklir maupun untuk setiap pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas.
    dari sini terlihat negara dan masyarakat nantinya akan sangat dirugikan mengingat kecelakan yang disebabkan oleh lapindo brantas lebih dari itu, apalagi kecelakaan sekaliber cherenobil maupun tree mild island.diapastikan lebih dari yang diakibatkan lapindo brantas.

  4. Betul pak rovicky, anda memang benar-benar obyektif dalam menanggapi masalah dan tidak terjebak dengan pro atau kontra nuklir. Seharusnya tidak hanya dipaparkan biaya perhitungan pltn tetapi juga dari pembangkit lainnya seperti batubara, gas, angin, air, matahari dll agar terlihat obyektif dan tidak memberikan penjelasan yang dapat menyesatkan masyarakat yang membaca blog anda.

  5. 5 kawansyam

    Mantab…
    Ulasan yang komprehensif

  6. 6 Naibaho

    Tambahan informasi kecelakaan PLTN Chernobyl:

    1. Desain reaktor.
    Reaktod chernobyl ini mempunyai kelemahan keselamatan dalam desainnya. Dimana akan timbul ketidakstabilan pada daya rendah (Daya reaktor biasa naik cepat tanpa dapat dikendalikan). Satu hal yg paling utama, Chernobyl ini tidak mempunyai containment (kungkungan reaktor), sehingga setiap kebocoran radiasi dari raktor langsung ke udara. Kekuatan containment ini dalam designnya harus mampu menahan serangan dari udara (misalnya ada pesawat yg menabraknya, containment tdk akan hancur)–> Spt serangan 9/11 pada gedung WTC

    2.Pelanggaran Prosedur.
    Tanggal 25 April 1986, reaktor nomor 4 perlu dimatikan (shutdown) utk perawaan rutin, moment ini dipakai utk melakukan pengujian, yaitu apakah saat shutdown tenaga listrik masih cukup utk menggerakkan alat kedaruratan dan pompa pendingin teras reaktor sebelum listrik cadngan masuk.
    Ketika pekerjaan penelitian (test) dilakukan, hanya 8 (delapan) batang kendali reaktor yg dipakai, yg semestinya minimal 30 (SOP-Standar Operational Procedur, agar reaktor tetap terkontrol), kemudian sistem pendingin daruratnya saat itu dimatikan (-> namanya juga ujicoba…) dan pengujian ini dilakukan tanpa memberitahukan kpd reaktor operator.

    3. Budaya Keselamatan.
    Pengusaha instalasi Chernobyl ini tdk memiliki budaya keselamatan (Safety Culture)–> tdk mampu memperbaiki kelemahan desain yg sdh diketahui sebelum kecelakaan. (sebuah Memorandum dalam dokumen rahasia Rusia “Chernobyl Construction Weakness” dgn jelas memaparkan ini)

    Satu hal lagi, kejadian ini dilatarbelakangi saat masa perang dingin antara Amerika VS Unisovyet. Sehingga ini memicu Unisovyet melakukan beberapa ujicoba2 nuklirnya utk menciptakan senjata nuklirnya.

    Dengan desain reaktor yg seperti sekarang ini (ada yg menyebutnya Reaktor Generasi III, …sekarang jg sdg dirancang generasi IV), dan digunakan dgn desain originalnya (reaktor tdk disalahgunakan) dapat kita kategorikan bahwa PLTN memiliki Biaya resiko kecelakaan sangat kecil

    salam,
    Naibaho

  7. Infoenergi menampilkan informasi ilmiah yg keliru.

    Saya ambil dua contoh saja.
    [1] Dari IAEA 2006a, bahwa rata-rata lama waktu konstruksi dari 72 reaktor di dunia yang dibangun selama periode 1990-2005 adalah 8,5 tahun. Sama sekali tdk ada tulisan demikian di referensi yg disebutkan oleh info energi. Jadi data yg ditampilkan adalah kesimpulan pribadi dari info energi yg mengolah data dari IAEA 2006a. Krn referensi tsb hanya berisi tabel2 dan figure2. Hasil hitungan saya:
    1991-1995 ada 29 PLTN: 81 bulan,
    1996-2000 ada 23 PLTN: 121 bulan,
    2001-2005 ada 16 PLTN: 109 bulan,
    2005- ada 4 PLTN: 54 bulan,
    Total rata2 waktu konstruksi 72 PLTN adl 98.5 bulan (8.2 tahun). Meskipun beda sedikit, mungkin bisa dijelaskan metode menghitung aritmetika yg mana yg digunakan.

    [2] Data dari IAEA 2006b,
    Kembali infoenergi mengolah data dan diclaim tertulis demikian di referensi. Lebih parah lagi hasil hitungan infoenergi meleset jauh. Tertulis bahwa hingga tahun 2005, 57 persen dari seluruh reaktor daya di dunia memiliki capacity factor energy availability factor akumulatif kurang dari 80 persen dan hanya 18 persen yang memiliki capacity factor energy availability factor di atas 85 persen.
    Hasil hitungan saya, availability factor akumulatif kurang dari 80 persen sejumlah total 159 PLTN (36.1%) dari 440 PLTN. Coba cek di Figure 3.

  8. MetNet, sebaiknya Anda cek lagi perhitungan Anda.

    Untuk tanggapan [1]:
    Memang betul bahwa IAEA tidak pernah menyebut kalimat tersebut secara eksplisit, tetapi dari data yang ada tidak sulit untuk menarik kesimpulan tersebut. Anda sendiri sudah mencoba menyalinnnya (walapun Anda juga sedikit keliru dalam mengutip data tersebut). Saya kutip data tsb dari Tabel 14: AVERAGE CONSTRUCTION TIME SPAN dengan menjumlahkan data 1991-1995, 1996-2000 dan 2001-2005. Perhitungannya:

    [((29*91)+(23*121)+(20*98))/(29+23+20)] bulan / 12 bulan per tahun = 8,544 tahun

    Kalaupun Anda bersikukuh dengan perhitungan Anda yang 8,2 tahun apakah hitungan Anda ini mengubah kesimpulan yang saya sampaikan? Mari kita fokus pada pokok persoalan jangan berkutat pada pernik-pernik angka.

    Anda jangan lupa, bahwa data-data yang disajikan IAEA tersebut dibatasi hanya pada reaktor yang sudah selesai terkoneksi dengan jaringan listrik. Jika data reaktor-reaktor yang hingga kini masih dalam proses konstruksi (ada diantaranya yang lebih dari 20 tahun belum selesai) dan bahkan juga yang macet di tengah jalan dimasukkan dalam perhitungan, maka rata-rata masa konstruksi bisa tambah lama.

    Untuk tanggapan [2]:
    Anda juga rupanya keliru dalam memahami Figure 3: Reactors with High Availability Factors. Data di gambar tersebut bukan availability factor kumulatif tetapi hanya availability factor selama tahun 2005 saja. Referensi (IAEA, 2006b) saya jadikan acuan untuk kalimat berikut: “Sejak tahun 1999 hingga 2005 praktis tidak ada peningkatan berarti dalam energy availability factor”. Untuk mendapatkan angka yang saya paparkan tersebut, Anda harus mau sedikit bekerja keras untuk menghitung data load factor dari semua reaktor yang ada di Tabel 10: REACTORS IN OPERATION referensi (IAEA 2006a). Silakan Anda hitung lagi dengan lebih cermat dan jika kurang puas bisa kita bandingkan hitungan Anda dengan data di spreadsheet yang saya miliki.

  9. Duh, penting banget dey infonya… trhanks berat ya,…. doain menang debat, yuhuuu

  10. 10 benbego

    jadi tau nih sistem penghitungan pln. thanks ya! 😀

  11. bikin Kaleidoskop-Blog™ yuk… Liat contohnya di
    http://alief.wordpress.com/ 🙂

  12. ya…ya…

  13. Terima kasih atas infonya

  14. 14 temanmu

    🙂 makasi atas ide dari kawan-kawan. Argumen sederhana yang ingin aku sampaikan: Pakistan dan India yang profil kependudukan dan ekonominya mirip2 indonesia sudah punya PLTN. Well, mereka tentu sudah melakukan itung2an kayak di atas 🙂 . Bahkan lebih 🙂 detail. Kita tinggal lihat dari mereka aja. SDM Indonesia bisa lah ‘lebih’ dari mereka. (Soalnya, kalau dengan mereka aja Indonesia nggak bisa ahead, terus Indonesia mau di mana 🙂 ?). Makasi… Peac…

  15. 15 zhodick

    Tq berat atas infonya….
    tapi kita semua jangan samapi kayak politisi kita dong yang bisanya cuma bawa dokumen print2an dari internet atau dikasih anak buahnya dan belum di cek kebenarannya lantas dijadikan modal dalam meningkatkan popularitasnya..

    saya pikir (menurut aku) saat ini yang terbaik ya PLTN, diabndingkan dengan pembangkit yang lain yang menggunakan bahan bakar fosil (MT,BB,GAS dll).sejauh ini yang saya ketahui rencana PLTN di indonesia akan menggunakan teknologi generasi ke III yang notabene hingga saat ini cukup aman. Bahnkan di BAPETEN kalo tidak salah sudah disiapkan perangkat peraturan yang nantinya harus di ikuti oleh vendor yang akan membangun PLTN di indonesia, mulai Tapak (site),Periizinan instalasi Reaktor (Konstruksi, Operasi hingga dekomisioning). jadi sebaiknya kita berpikir positif aja oce???

  16. Well, gini aja: KITA bangun dulu PLTN yang paling murah. Udah gitu, silahkan deh, kalian jungkir balik otak-atik angka. Yang jelas Rusia nawarin harga bersih Rp. 400,- per kWh. Bersih, gak urus apa2 lagi.

  17. 17 no name

    mo nanya,,, harga uranium sekarang berapa yaa???

    mo dijadikan tugas makalah,,,

    maksih sebelumnya

  18. 18 san

    Tolak PLTN

  19. mungkin di indonesia kita ini masih banyak yang berpikir ke arah negatif nya saja. pola pikir kita harus di ubah untuk menerima hal ini

    salam kenal yah


  1. 1 Kenapa saya kontra pembangunan PLTN di Indonesia « Silent Corner
  2. 2 Infoenergi tidak ilmiah « MetNet Opinions

Tinggalkan Balasan ke Teddy Ardiansyah Batalkan balasan