Gas dan batubara kita untuk siapa?

21Mei07

Kapal LNG (source:EIA)Negara yang memiliki kandungan sumber daya energi yang besar, identik dengan kemakmuran. Logikanya sederhana, kekayaan alam tersebut akan menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Harga produk industri menjadi lebih kompetitif di pasar internasional karena input energi yang murah dan berlimpah. Pembangunan berbagai infrastruktur akan berjalan pesat dan pengentasan kemiskinan dapat terwujud karena ditopang devisa dari hasil penjualan kekayaan alam dan produk industri. Masyarakat akan dengan mudah mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan yang mamadai. Hasilnya, sumber daya manusia berkualitas yang dihasilkan akan semakin memperkuat daya saing internasional dan kemandirian negara tersebut.

Namun rupanya tidak semua negara penghasil sumber daya alam energi mengikuti alur seperti itu. Dengan kekayaan alam yang berlimpah, beberapa negara justeru mengalami kemunduran ekonomi dan daya saing. Nigeria adalah salah satu contoh klasik sebuah negara kaya minyak yang justeru mengalami pertumbuhan ekonomi negatif selama beberapa dekade. Inilah yang disebut oleh kalangan ekonom sebagai “the resource curse” atau “the paradox of plenty“, dimana kekayaan alam yang berlimpah tidak memberikan berkah tetapi justeru membawa bencana. Nasib Indonesia yang juga memiliki kekayaan sumber energi memang tidak semalang Nigeria, namun juga tidak bisa dikatakan berhasil dibandingkan beberapa negara berkembang di kawasan Asia yang justeru relatif miskin sumber daya alam. Salah satu penjelasan tesis “the resource curse” adalah terabaikannya sektor industri dan pertanian karena pemerintah terbuai untuk mengandalkan devisa dari penjualan kekayaan alam. Gambaran pengelolaan produksi gas alam dan batubara di negeri kita sedikit banyak menjadi bukti pembenaran atas tesis tersebut.

Gas alam

Indonesia memiliki cadangan gas alam sebesar 2.8 triliun meter kubik (97 triliun kaki kubik) pada akhir 2005, yang setara dengan 1.5 persen cadangan dunia. Jumlah tersebut sebenarnya tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan produsen gas alam yang lain. Rusia, misalnya, memiliki cadangan gas alam sebesar 48 triliun meter kubik. Iran dan Qatar masing-masing memiliki sekitar 27 dan 26 triliun meter kubik.

Namun lebih kecil cadangan bukan berarti lebih sedikit dalam volume ekspor. Selama beberapa tahun Indonesia justeru tercatat sebagai eksportir gas alam terbesar di dunia. Pada tahun 2005, produksi gas alam Indonesia tercatat sebesar 75 milyar meter kubik, hampir separuhnya (36 milyar meter kubik) diekspor. Sisanya sekitar 39 Milyar meter kubik digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Sebagai perbandingan, negeri jiran Malaysia memiliki konsumsi gas alam yang hampir sama, dengan jumlah penduduk yang hanya sepersepuluh penduduk Indonesia.

Gas alam merupakan input yang sangat vital dalam berbagai industri, diantaranya: industri logam, kimia, pulp dan kertas. Di dalam bidang pembangkitan listrik, gas alam digunakan sebagai bahan bakar PLTG dan PLTGU. Waktu konstruksi yang singkat dan respon pengoperasian yang cepat menjadikan PLTG sebagai pembangkit listrik yang ideal untuk memenuhi kebutuhan beban puncak. Sementara, efisiensi gas ke listrik yang sangat tinggi menempatkan PLTGU sebagai pembangkit yang paling kompetitif diantara alternatif pembangkit termal yang lain. Di sisi lain, sifat gas alam yang lebih ramah lingkungan dibandingkan sumber energi fosil yang lain menjadikannya sebagai sumber energi andalan untuk saat ini dan waktu-waktu yang akan datang.

Melihat potensi dan manfaat gas alam tersebut mestinya pemenuhan kebutuhan dalam negeri menjadi prioritas. Namun kenyataanya justeru sebaliknya, setiap hari kebutuhan gas alam dalam negeri mengalami defisit sebesar 0,3 milyar kaki kubik (Tempo Interaktif, 5 Maret 2007). Defisit gas sebenarnya sudah mulai dirasakan kalangan industri sejak tahun 2005 namun kondisinya semakin parah akhir-akhir ini. Keadaan diperburuk dengan kondisi infrastruktur gas di Indonesia yang juga jauh dari memadai. Gas alam dari ladang-ladang gas tidak bisa dialirkan ke industri-industri yang membutuhkan karena ketiadaan pipa transmisi dan distribusi.

Akibatnya, banyak industri yang mengandalkan gas alam harus kelimpungan bahkan terancam gulung tikar (Kompas, 11 Mei 2007). Sebagian yang lain berencana untuk hengkang dari Indonesia (Pikiran Rakyat, 7 Maret 2007). Beberapa pembangkit listrik tenaga gas juga terpaksa harus beralih ke BBM sehingga berakibat pada lonjakan biaya pembangkitan. Pabrik-pabrik pupuk pun berhenti beroperasi karena kurangnya pasokan gas. Singkat kata, industri-industri tersebut dapat diibaratkan seperti tikus mati di lumbung padi.

Anehnya, di tengah defisit suplai gas dalam negeri dan keterbatasan cadangan, pemerintah justeru bertekad mempertahankan posisinya sebagai ekportir LNG terbesar di dunia (Kompas, 17 Januari 2007). Yang lebih ironis, belum lama ini Wapres Jusuf Kalla justeru menyatakan bahwa untuk mempertahankan kepentingan ekspor LNG ke Jepang dan Korea maka konsumsi gas dalam negeri harus ditekan serta menggantinya dengan batubara (Bisnis Indonesia, 4 Mei 2007). Ini jelas membuktikan bahwa pemerintah masih melihat gas alam semata-mata sebagai komoditi ketimbang sebagai aset pembangunan industri dan pemberdayaan ekonomi nasional.

Batubara

Obral sumber daya energi tidak hanya terjadi pada gas alam, tetapi juga batubara. Sepanjang tahun 2005-2006, Indonesia menjadi negara pengekspor batubara terbesar di dunia. Ekspor tersebut mampu menutup 25 persen permintaan pasar batubara dunia (TEMPO Interaktif, 6 Mei 2007). Ironisnya, konsumsi batubara perkapita Indonesia justeru termasuk yang terendah diantara negara-negara produsen batubara. Bahkan konsumsi batubara perkapita Indonesia hanya separuh dari Malaysia dan Thailand, padahal keduanya tergolong miskin cadangan batubara.

Jumlah cadangan terbukti batubara Indonesia sebenarnya tidak istimewa, kurang lebih 12 milyar ton (DJLPE, 2007). Dari lima besar negara ekportir batubara, Indonesia adalah yang paling sedikit memiliki cadangan terbukti. Jumlah cadangan sebesar itu relatif tidak signifikan jika dibandingkan dengan cadangan Rusia yang besarnya mencapai 157 milyar ton atau China sebesar 114 milyar ton. Di dunia, cadangan batubara Indonesia hanya menempati urutan ke 13 dengan jumlah setara dengan 1,3 persen seluruh cadangan batubara dunia.

Negara-negara besar yang memiliki produksi batubara besar umumnya memprioritaskan pemakaian batubara untuk kebutuhan domestik. Amerika Serikat dan China, misalnya, memanfaatkan lebih dari 95 persen produksi batubara mereka untuk konsumsi domestik. India bahkan memanfaatkan seluruh batubara mereka untuk konsumsi dalam negeri. Kondisi serupa juga terjadi di Rusia, Polandia dan Afrika Selatan, dimana lebih dari 70 persen produksi digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Sementara di Indonesia kondisnya sangat bertolak belakang, 75 persen batubara justeru diarahkan untuk tujuan ekspor.

Peranan penting batubara tidak bisa dilepaskan dari sejarah industrialisasi umat manusia. Tersedianya batubara yang melipah di negara-negara Eropa telah menghantarkan mereka memasuki era industrialisasi dan kemakmuran seperti sekarang ini.

Di Amerika, selama satu abad terakhir batubara telah menjadi penggerak ekonomi negara tersebut dengan menyediakan lebih dari separuh kebutuhan listrik mereka. Kondisi ini diperkirakan masih akan berlangsung hingga beberapa tahun yang akan datang, Laporan yang disusun oleh Pennsylvania State University menegaskan bahwa pemanfaatan sumber daya batubara di negera tersebut untuk pembangkitan listrik diperkirakan akan menciptakan pemberdayaan ekonomi pada jutaan usaha dan industri kecil serta rumah tangga dan membuka 6.8 juta lapangan kerja baru [Rose, 2006].

Dua raksasa ekonomi Asia, Cina dan India, juga memilih memanfaatkan sebagian besar batubaranya untuk keperluan domestik sebagai sumber energi pembangunan ekonomi ketimbang sebagai komoditi ekspor.

Di Korea, konsumi batubara terbukti memiliki pengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Konsekuensinya, hambatan pada konsumsi batubara akan berpotensi besar dalam menghambat pertumbuhan ekonomi Korea. Ini mendorong pemerintah Korea untuk meningkatkan jaminan pasokan batubatra untuk jangka panjang [Yoo, 2006].

Kenyataan serupa juga berlaku di negara-negara yang lain. Alasannya sangat jelas, selama ini batubara masih merupakan pilihan paling murah dan berlimpah dalam penyediaan energi untuk pembangunan ekonomi.

Berkaca dari pengalaman negara-negara tersebut Indonesia semestinya memanfaatkan sumber daya batubara yang dimilikinya untuk mendukung pembangunan industri. Tentu pemanfaatan batubara tersebut harus tetap mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan dan keselamatan. Menjadikan batubara sebagai komoditi ekspor andalan adalah kebijakan yang keliru.

Penutup

Krisis pasokan gas serta rendahnya konsumsi gas dan batubara di tanah air pada saat Indonesia menjadi ekportir terbesar batubara dan gas dunia adalah gambaran kecil carut-marutnya pengelolaan sumber daya energi di negeri ini. Untuk itu paradigma bahwa sumber daya alam semata-mata sebagai komoditas perlu diubah. Gas alam, batubara dan sumber energi lainnya adalah aset pembangunan yang harus dilindungi ketersediaanya untuk menjamin keberlangsungan pembagunan dalam negeri. Jika pemerintah saat ini belum mampu mengelola sumber daya alam tersebut maka akan lebih baik jika kita percayakan generasi yang akan datang untuk mengelolanya secara lebih arif, bukan dengan mengobral untuk membantu pembangunan negara lain.

Catatan:

  1. Data statistik gas dan batubara diambil dari BP Statistical Review of World Energy 2006.
  2. A. Z. Rose dan D. W. Seung-Hoon Yoo, 2006. The Economic Impacts of Coal Utilization and Displacement in the Continental United States, 2015, Pennsylvania State University. July, 2006.
  3. S. Yoo, 2006, Causal relationship between coal consumption and economic growth in Korea, Jurnal Applied Energi, No. 83. 2006.


18 Responses to “Gas dan batubara kita untuk siapa?”

  1. Yang menikmati batubara ?

    • 2 widodo

      Gas dan batubara sebenarnya masih belum optimal dalam penggunannya kususnya untuk konsumsi Dalam Negeri. Sebenarnya kalau kita mau konversi seperti LPG juga bisa dengan cara Gasifikasi Batubara agar lebih mudah dalam aplikasinya di masyarakat.

  2. mmm… saya setuju dengan ide bahwa kita harus memenuhi kebutuhan energi domestik (dalam hal ini memanfaatkan gas dan batu bara) terlebih dahulu. kalau ada ‘sisa’ mungkin bolehlah kita ekspor.

    tapi, kok saya jadi berpikir lagi, mengacu pada artikel sebelumnya tentang perubahan iklim. katakanlah kebijakan kemudian berpihak pada pemenuhan energi domestik terlebih dahulu, sehingga penggunaan batu bara di dalam negeri menjadi meningkat, bukankah itu artinya kita jadi berkontribusi kepada pemanasan global (yang dampaknya setahu saya cukup parah, apalagi bagi negara Indonesia yang adalah kepulauan *banyak masyarakat yang tinggal di pesisir*).

    saya kurang tau sih tentang kebijakan pemakaian batu bara ini. tapi mungkin, kita juga harus memikirkan alternatif energi lain yang mungkin bisa diberdayakan, seperti tenaga air, geotermal atau lain sebagainya, yang lebih ramah lingkungan, yang seharusnya juga gencar untuk dipromosikan. atau tidak?

    maaf kalau tidak nyambung, saya mungkin agak ‘maksa’ dalam mengkait-kaitkan kedua artikel. saya masih belajar dalam hal ini.

  3. Mbak Ime, memang yang paling ideal untuk jangka panjang adalah memanfaatkan panas bumi dan energi air juga energi terbarukan lainnya seperti energi surya dan samudera. Sayangnya, untuk saat ini (jangka pendek dan menengah) solusi ini tidak akan banyak membantu pengurangan emisi. Kenapa? Karena batubara akan lebih banyak diekspor dan “dibakar” di negara-negara industri seperti Korea dan Jepang. Hal ini terjadi karena bangsa kita belum memiliki kebijakan energi yang benar, sumber daya alam yang ada kalau tidak dimanfaatkan di dalam negeri pasti akan dijual ke luar negeri (dengan harga relatif murah tentunya). Dengan demikian, tanpa adanya kebijakan pembatasan ekspor, pengurangan konsumsi batubara dalam negeri hanya akan meningkatkan volume ekspor.

    Jika batubara kita jual ke negara lain, artinya jumlah emisi dari batubara kita tidak berkurang. Apakah batubara kita “dibakar” di negara lain atau di Indonesia efeknya terhadap perubahan iklim tetap sama. Bedanya, kalau batubara kita digunakan di negara industri maka yang mendapat keutungan ekonomi lebih banyak adalah mereka (seperti Jepang, Korea dan Taiwan), kalau dimanfaatkan di dalam negeri, rakyat akan turut menikmati keuntungan secara ekonomi.

    Untuk gas sedikit berbeda. Karena gas adalah energi fosil yang paling ramah lingkungan maka dari tinjauan ekonomi maupun lingkungan akan lebih menguntungkan dimanfaatkan untuk kepentingan domestik (sebagai substitusi BBM).

    Untuk itu saya menyarankan agar pemanafaataan batubara dalam negeri tetap diutamakan. Pada saat yang sama energi terbarukan (khususnya panas bumi dan air) juga digenjot. Kendala-kendala non teknis seperti perpajakan harus secepatnya dibenahi. Agar pemanfaatan energi terbarukan lebih atraktif, pemerintah perlu didorong untuk memanfaatakan Clean Development Mechanism (CDM) secara lebih progresif sehingga mendapatkan keuntungan dari perdagangan emisi karbon dunia.

    Satu lagi, kita bisa berperan besar dalam pengurangan emisi karbon dunia melalui program konservasi hutan, silakan baca artikel “Pembatasan emisi karbon yang salah prioritas

    Salam, InfoENERGI

  4. ah iya, saya setuju. harusnya memang kebijakan ekspor juga dikaitkan dengan hal ini. maaf, saya melupakan aspek ekspor tersebut.

    intinya, saya setuju dengan suplai energi domestik harus diutamakan; tapi mungkin kajian terhadap energi terbarukan juga harus digenjot.

  5. 6 Andy

    Bagi negara yg jumlah penduduknya besar spt. Indonesia :

    Menjual komoditas Energy dlm bentuk mentah atau 1/2 mentah sama saja spt. seorang anak yg hidup dari menjual harta warisan orang tuanya.

    Mengexport produk2 manufaktur dan mendaya gunakan SDA Energy utk mendukung industrialisasi di Indonesia barulah ibarat anak yg tumbuh mandiri, berkembang & mapan karena dia menjual sesuatu yg merp. buah karya dr. keahliannya / ketrampilannya.

    Maap bila ada yg kurang berkenan.

  6. 7 arul

    andai bangsa ini punya orang yg punya kebanggaan atas bangsa. sehingga bangsa ini tidak menjual diri dengan murahnya ke bangsa lain..

  7. 8 mbojo

    bang arul bergening position kita masih lemah. makanya kita mnjual harga diri bangsa kita sangat murah di negara lain. mkanya saya sepakat maksimalkna enegi yg ada di dalam negri untuk kepentingan pembangunan dalam negri. mdah2an pembangunan ini tetap bisa berjalan dengan baik

  8. 9 La An

    pingin nanya tentang energi MFO?
    pernah dengar klo PLN sekarang lagi berusaha memakai MFO juga buat sember energi pembangkit lisriknya.
    sebenarnya apa sih MFO itu?
    apakah MFO itu ramah lingkungan juga
    ato jangan2 dia berbahaya seperti nuklir
    bru dengar tuh MFO

    klo ada lingk yg bisa mnjelaskan MFO, tlong di bantu
    ato klo mau ngebahas MFO mlah tambah bagus
    biar lebih mengerti lagi

    ternyata ada lagi alternatif energi lain buat pembangkit listrik

  9. 10 panji

    nice blog, 🙂

    alhamdullilah, Ternyata masih ada orang yang peduli terhadap bangsa ini.
    pemerintah memang kurang peduli terhadap masalah energi
    agaknya mereka terlalu sibuk u/ memikirkan kepentinganya
    masing2 dan tidak memperdulikan kesejahtraan rakyat,………..

  10. makanya jadi orang jarang rakus lah…memang kita perlu uang tapi kalau kerusakan lingkungan siapa yang tanggung????

  11. 12 alkayyisa

    sekarang ini jarang orang pemerintahan yang suka memikirkan apalagi penambang kita yang tidak punya hati nurani,semua membuat laporan kepemerintahan bagus semua tapi kenyataanya nol besar alam hancur masarakat kecil yang tidak menikmati jadi korban saya sangat sedih hutan dihancurkan dengan alasan penambangan jangan berdalih penambangan yang berwawasan lingkungan mana !!!!!!!!!lihat kalimantan sekarang kita tidak akan melihat lagi namanya hutan semua hancur dengan alasan penambangan . jangan korban kan kami masarakat kalimantan yang tidak merasakan manfaat penambangan ini,bukan kami tidak setuju dengan penambangan kami setuju yang terpenting tidak merusak lingkungan. aku cinta indonesaku……..

  12. saya setuju dengan penulis.
    kondisi memang cukup berat bagi Indonesia untuk berswadaya energi.

    minyak saja kita cuma bisa menjadi broker saja.
    kita hanya memproduksi barang2 mentah..pengolahannya sebagian diserahkan ke LN lalu dijual lagi ke Indonesia setelah menjadi barang siap pakai kaya Premium dan Solar

    yang menjadi persoalan adalah kita tidak mempunyai penyaluran (pipa) yang menunjang distribusi penggunaan energi gas ke Industri.

    beberapa tahun yang lalu pernah diinisiasikan pembuatan pipa dari jawa ke kalimantan..
    namun ditengarai hanya urusan proyek yanng akhirnya jadi mark up.

    memang yang perlu kita endorse sekarang adalah agar pemerintah segera mempertimbangkan strait jacket policy untuk bisa menyediakan pembangunan pipanisasi untuk pemanfaatan energi gas di Negara kita.

    salam nasionalis,
    Yudha

  13. 14 yudha

    Jika batubara kita jual ke negara lain, artinya jumlah emisi dari batubara kita tidak berkurang. Apakah batubara kita “dibakar” di negara lain atau di Indonesia efeknya terhadap perubahan iklim tetap sama. Bedanya, kalau batubara kita digunakan di negara industri maka yang mendapat keutungan ekonomi lebih banyak adalah mereka (seperti Jepang, Korea dan Taiwan), kalau dimanfaatkan di dalam negeri, rakyat akan turut menikmati keuntungan secara ekonomi.

    sekarang ini jarang orang pemerintahan yang suka memikirkan apalagi penambang kita yang tidak punya hati nurani,semua membuat laporan kepemerintahan bagus semua tapi kenyataanya nol besar

    yang menjadi persoalan adalah kita tidak mempunyai penyaluran (pipa) yang menunjang distribusi penggunaan energi gas ke Industri.???

  14. 15 BonE

    Batubara Untuk Siapa pun Negara ManaPun Bisa
    tergantu kebutuhan yang baik dan benar………..
    tapi pedulikan masyarakat jangan pedulikan kantong pribadi….!!!
    he…he…
    manajemanya donk yang berbenah…….
    kasihan MINER and Mining Cromps nya……………..

  15. 16 Billi 112070027

    migas dan batubara kita jual ke negara lain itu bagus……
    tapi berasal dari mana distributornya ? BUMN atau Asing ?
    jangan termakan atas kenakan semata oleh investor asing ! merka hanya peduli akan kekayaan alam, buakan cinta akan alam indonesia…..
    teliti sebelum bertidak dan memberi.
    “Gas dan batubara kita untuk siapa” bukan berarti kita tidak menikmati, tetapi pemerintah yang ahrus berperan baik yang mengaturnya agar tidak salah “SASARAN”
    kasihan generias bangsa ini….

  16. UNDANG UNDANG DASAR 1945

    BAB XIV

    PEREKONOMIAN NASIONAL DAN
    KESEJAHTERAAN SOSIAL****)

    Pasal 33

    (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
    kekeluargaan.
    (2) Cabangcabang
    produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
    hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
    (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
    oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar
    kemakmuran rakyat.
    (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
    dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
    berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
    keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. ****)
    (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
    undangundang.
    ****)

    Pasal 34
    (1) Fakir miskin dan anakanak
    terlantar dipelihara oleh negara. ****)
    (2) Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruah rakyat dan
    memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
    martabat kemanusiaan. ****)
    (3) Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan
    dan fasilitas pelayanan umum yang layak. ****)
    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
    undangundang.
    ****)

    “Waaaah ternyata, para pejabat esekutif dan yudikatif bangsa ini lupa menghapus pasal ini waktu bikin revisi baru. percuma di buat kalau nggak di amalkan.”

    (tak pasang di friendster supaya pada baca..)

  17. 18 lidea

    saya tinggal dilingkungan sumber daya alam gas dan batubara. saya melihat dengan adanya otonomi daerah tambah rusak alam ini.Eksekutip dan legislatip dengan bangganya mendatangkan investor mancanegara dengan dalih kemakmuran daerah… tapi keuntuungan besar ada di mereka yg.berperan langsung. imbas ekonomi terhadap masarakat sekitar sedikit sekali. pembangunan daerah terkesan asal2an. Hanya mencari keuntungan pribadi dari proyek yg digulirkan…
    ehm kalau melihat pemandangan sungai didepan saya tiap hari hilir mudik tongkang dan aparat yg mengawalnya mengangkut batubara. Alangkah kayanya negeri ini seandainya apa yg saya lihat didepan saya ini sepenuhnya bangsa kita sendiri yg. mengelolanya, memanfaatkannya, efek eonomi yg ditimbulkan sepenuhnya milik bangsa ini. keuntungannya ditabung untuk mempertebal cadangan defisa negara. biar bangsa ini tidak miskin terus. Kalau negeri ini saya ibaratkan sebuah rumah tangga.betapa banyaknya sumber kekayaan keluarga ini.tapi mereka bodoh malas mengelola sendiri kekayaannya.mereka panggil orang lain untuk bekerja di lahannya.Keuntungan dibagi dua. Hidupnyapun boros sekali. Tidak banyak tabungannya. Bapak ibuk dan anak berpoya poya… tidak memikirkan nantinya… anggaran tahun depan sudah direncanakan…. tapi tidak terfikirkan anggaran untuk ditabung… he..he..he..he


Tinggalkan Balasan ke arul Batalkan balasan