Bahan Bakar Nabati: antara berkah dan bencana

25Mar07

Bahan bakar nabati (BBN), dalam bentuk bioetanol dan biodisel, menjadi secercah harapan baru bagi pemerintah untuk meningkatkan devisa, menciptakan lapangan kerja baru serta membantu mengurangi angka kemiskinan. Pemanfaatan BBN juga diharapkan mengurangi pencemaran udara serta menciptakan kemandirian energi dengan mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak bumi.

Harapan ini tentu beralasan mengingat sumberdaya alam Indonesia sangat potensial untuk pengembangan BBN. Disamping itu, permintaan pasar internasional terhadap BBN selama beberapa tahun terakhir juga meningkat tajam. Berdasarkan laporan yang dirilis analis pasar Emerging Market Online pada bulan Oktober tahun lalu, produksi biodisel dunia meningkat dari 1000 juta liter pada tahun 2001 menjadi 3500 juta liter pada tahun 2005, artinya terjadi pertumbuhan produksi lebih dari 35 persen per tahun. Pertumbuhan ini diperkirakan akan terus berlanjut. Apalagi bulan Maret ini Uni Eropa telah mencanangkan target peningkatan porsi BBN hingga 10 persen untuk sektor transportasi pada tahun 2020. Trend peningkatan kebutuhan BBN juga ditandai dengan rencana pemerintah Amerika Serikat untuk meningkatkan produksi bioetanol hingga 5 kali lipat pada tahun 2017.

Namun, di tengah harapan cerah tersebut, program BBN juga menyimpan sejumlah potensi bencana yang serius. Setidaknya ada tiga bencana atau kegagalan yang harus diwaspadai, yaitu kerusakan hutan, kelangkaan pangan dan kegagalan menciptakan pasar domestik.

Kerusakan hutan

Dua alternatif sumber biodisel yang paling prospesktif untuk Indonesia saat ini adalah minyak kelapa sawit dan jarak pagar. Namun biodisel dari minyak kelapa sawit, atau yang lebih dikenal dengan CPO (crude palm oil), diperkirakan akan lebih diminati para investor. Alasannya, industri di Indonesia telah memiliki pengalaman dalam bidang ini. Minyak kelapa sawit juga dianggap lebih ekonomis. Setiap hektar kebun kelapa sawit mampu menghasilkan 5 ton minyak nabati per tahun, atau setara dengan tiga kali jumlah produksi minyak dari tanaman jarak pagar untuk luas lahan dan jangka waktu yang sama. Di sisi lain, produksi biodisel dari minyak jarak pagar membutuhkan waktu yang lebih lama untuk penyiapan teknologi serta standardisasi produk dan pengolahan sebelum bisa masuk ke pasaran.

Yang mengkhawatirkan adalah bahwa pemanfaatan CPO untuk biodisel ini akan menyebabkan kerusakan hutan akibat konversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Sejumlah aktifis lingkungan memperkirakan industri biodisel di Indonesia akan mengulangi kesalahan seperti yang telah dilakukan oleh industri pulp dan kertas selama ini dalam memberikan andil terhadap kerusakan hutan. Laporan Friend of Earth tahun lalu menyebutkan antara tahun 1985 hingga 2000, 4 juta hektar hutan telah diubah menjadi lahan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan, sementara 16.5 juta hektar yang lain akan segera menyusul.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa konversi hutan tropis menjadi lahan perkebunan, industri kayu dan pembangunan infrastruktur menyumbang 10-30 persen dari emisi gas rumah kaca dunia (Majalah Nature, 2001). Konversi hutan menjadi perkebunan monokultur juga mengancam keanekaragaman hayati. Dengan demikian, alih-alih menurunkan emisi karbon, program BBN dengan pembukaan hutan justeru memperparah permasalahan yang telah ada.

Persaingan pangan dan energi

Program BBN juga diperkirakan akan menyebakan naiknya harga komoditi pertanian tertentu, yang akhirnya berdampak pada meningkatnya harga produk pangan yang berbahan baku komoditi tersebut. Sebagai contoh, program etanol di Amerika Serikat diyakini sebagai penyebab meroketnya harga komoditi jagung di negara tersebut hingga dua kali lipat dalam satu tahun terakhir. Dengan demikian sangat beralasan jika pemanfaatan biodisel dari minyak kelapa sawit dan bioetanol dari tebu dikhawatirkan juga akan berpengaruh langsung terhadap harga dua bahan kebutuhan pokok, yaitu minyak goreng dan gula.

Persoalan akan bertambah serius jika program BBN juga menyebabkan konversi besar-besaran tanaman pangan menjadi tanaman penghasil BBN. Hal ini jelas mengancam ketahanan pangan nasional. Apalagi hingga kini target peningkatan produksi pangan, khususnya beras, masih belum tercapai sepenuhnya. Jika ini menjadi kenyataan maka yang diperkirakan menjadi korban paling menderita adalah masyarakat miskin, khususnya yang tinggal di perkotaan. Kondisi seperti ini tentu kontradiktif dengan harapan pemerintah agar program BBN bisa mengurangi angka kemiskinan.

Kegagalan pasar domestik

Ancaman yang ketiga adalah kegagalan dalam menciptakan pasar domestik. Jika ancaman tersebut terwujud, maka program BBN hanya akan menjadikan bangsa Indonesia sebagai pelayan energi bagi negara-negara industri. Hal ini bisa saja terjadi jika permintaan pasar internasional tinggi sementara pada saat yang sama pasar domestik dianggap tidak menarik. Kekhawatiran ini rupanya mulai menjadi kenyataan, karena alasan tersebut sebuah perusahaan biodisel di bawah kelompok Sinar Mas saat ini lebih tertarik untuk membuka pabrik biodisel di Eropa ketimbang di dalam negeri. Bahkan saat ini sudah ada industri biodisel di Sumetara Utara yang terpaksa berhenti beroperasi karena alasan yang serupa. Sungguh disayangkan jika industri BBN dalam negeri kelak hanya mampu mengandalkan ekspor produk mentah, seperti CPO misalnya. Artinya, tidak banyak nilai tambah yang dihasilkan oleh industri tersebut.

Pasar domestik juga tidak akan terwujud jika industri BBN dalam negeri dan pemerintah gagal menyediakan infrastruktur penunjang yang dibutuhkan. Kendati BBN dan BBM sama-sama bahan bakar cair, sifat BBN yang hygroscopic (menyerap uap air) menuntut infrastruktur pendistribusian yang khusus, baik dalam tempat penyimpanan maupun cara penanganan, untuk menjaga kualitas produk selama proses distribusi.

Kebijakan yang tepat

Untuk menghindari ketiga bencana tersebut dibutuhkan kebijakan yang jelas dan tepat dari pemerintah khususnya terkait dengan penggunaan lahan untuk industri BBN. Program BBN seyogyanya diletakkan dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan serta berorientasi pada kemandirian bangsa dan bukan didasari oleh keutungan ekonomi jangka pendek.

.

.

.

Informasi terkait:



23 Responses to “Bahan Bakar Nabati: antara berkah dan bencana”

  1. 1 Andy

    Program Biofuel seyogyanya TIDAK BOLEH menimbulkan bencana ekologis.

    Utk Jarak Pagar seyogyanya ditanam di lahan kritis / lahan marginal / wasteland & bukan mengkonversi hutan alam menjadi kebun biofuel.

    Utk Bioethanol seharusnya dikembangkan dari Nipah / Palm mangrove, menghasilkan bioethanol sekaligus mereboisasi daerah pesisir pantai.

  2. buat makan aja susah, apalagi mikirin bahan nabati utk bikin energi…

  3. Kita ini dibuat sibuk oleh LSM-LSM yg mengatasnamakan lingkungan. Padahal kalau kita baca di buku Economic of Hitman, kita ini seperti orang yg kelimpungan menari-nari yang digendangi oleh mereka.

  4. 4 Novi

    sedikit menambahkan informasi, saat ini telah mulai dikembangkan sebuah biofuel baru, yaitu biobutanol.
    menanggapi salah satu kelemahan biofuel sebelumnya (bioetanol dan biodiesel), biobutanol ini mudah didistribusikan melalui existing pipeline karena tidak menyerap air.
    tapi ancaman lain seperti persaingan pangan, pembukaan hutan besar2an mungkin masih menjadi kekhawatiran kareana konsep dasar prosesnya mirip dengan bioetanol.
    thx

  5. 5 Novi

    ide palm mangrove boleh juga tuh.
    tinggal ditelusuri dulu komposisi kimianya apakah mudah untuk difermentasi atau tidak (buat bioetanol, maksudnya.

  6. 6 Niko

    sebenarnya pengembangan biodiesel sangat berpotensi sekali di indonesia,karena lahan pertanian yang masih luas di daerah2 pegunungan di dalam pulau jawa,atau pun di luar pulau jawa…
    namun kendala penanaman bahan dasar pembuatan biodiesel yaitu tanaman jarak,bukan pada cara penanamannya atau pembudidayaannya,,melainkan pada “bagaimana dan kemana hasil panen tanaman jarak itu akan dijual??”
    “siapa yang akan membeli hasil perkebunan kita??”
    sering sekali pertannyaan itu keluar dari mulut para petani jarak…
    nah,itulah kendala yang sebenarnya masih menghantui para petani jarak,,
    Kami mohon bantuannya kepada anda semua yang membaca Blog saya ini..
    untuk memberitahukan atau membantu atau memberikan informasi tentang permasalahan ini….
    sekian
    Terima kasih

  7. 7 Paijo

    Biofuel memang harus dikembangkan karena habisnya minyak bumi hanya masalah waktu saja dan itu tidak akan lama lagi. Yang musti dihindari adalah pemikiran bahwa biofuel merupakan satu-satunya bahan bakar nabati pengganti minyak bumi. Selain biofuel, kan masih ada biomassa seperti limbah pertanian macam tongkol jagung, kulit kacang, jerami, ranting kayu, tandan kelapa, dll yang juga bisa dikonversi menjadi energi yang kita perlukan. Teknologinya juga sudah tersedia seperti mesin uap, turbin uap, dsb. Masalah yang dihadapi sekarang muncul karena orang sudah tidak mau mengembangkan lagi teknologi jaman kuno tersebut. Beberapa alasan yang disampaikan yaitu, tidak praktis, efisiensi rendah, kotor, berasap tebal, power to weight ratio juga rendah, tidak responsif, dsb. Padahal semua masalah tersebut bisa diatasi jika peneliti-peneliti kita mau mengembangkan teknologinya. Sebagai contoh, di Amerika ada Green Steam Engine yang sudah jauh lebih maju dibandingkan mesin uap jaman kuno. Ada juga Striling Engine yang dapat bekerja menggunakan sinar matahari yang difokuskan. Mungkin peneliti-peneliti kita enggan untuk melirik kembali teknologi mesin bakar luar karena tidak jelas apa benefit yang akan diperoleh. Dalam hal ini, pemerintah cq Kementrian Negara Riset dan Teknologi / BBPT / LIPI yang mustinya berperan lebih aktif menggalakkan penelitian pada bidang tersebut. Di negara kita, apa cuma eksperimenter bonek semacam Paijo yang melihat peluang berjayanya kembali mesin bakar luar ? Terimakasih dan salam eksperimen untuk semua.

  8. 8 kahfian

    pengembangan tanaman jarak sangat menarik untuk dibahas, dilanjutkan, di teliti, dan setetusnya. saya menganggap bahwa tanaman jarak cocok sekali untuk dikembangkan di daerah-daerah yang memiliki lahan tidur yang luas. Karena tanaman tersebut mampu tumbuh pada daerah yang kurang subur. Biodisel yang ramah lingkungan. Di sisi petani yang mengembangkannya akan sangat memberikan keuntungan yang besar karena umur 5 bulan supdah dapat menghasilkan buah dan lama produktivitasnya bisa sampai umur 50 tahun. “Tapi yang masalah sekarang tidak adanya hubungan yang terjalin antar hulu dengan hilir (produsen dengan industri pengolahan tanaman jarak tuk biodisel)” Mestinya pemda harus memikirkan penaganannya untuk masalah pengolahannya dengan mengadakan kerjasama dengan industri.

  9. mungkin
    di ITB bisa menerima hasil dari produksi tanaman jarak.
    Tapi alangkah baiknya jika petani itu sendiri yg mengelola produksi biofuel.

    karena menurut yg saya baca, produksinya cuma merebus doang + katalis (pemercepat reaksi).

    di daerah Depok ada yg telah meluncurkan cara-cara pemasakannya.

    di daerah jakarta ada tempat kursus membuatnya( Ups, masih mahal banget, maaf) mustinya dari pemerintah ya….gratis
    tinggal tunggu pajaknya saja nanti

    Gimana PEMERINTAH RI ada Tanggapan ????

  10. 10 Rizky

    Bagi anda petani jarak kami siap membeli hasil panen anda minimal 10 ton sekali menjual buah jarak pagar tersebut… dgn harga 1 jt / ton… kami siap membeli hingga ribuan ton per bulan atau dpt mencapai 5000 ton per bulan… Hub : Rizky 0811602362

  11. 11 roan anwarovic

    maaf ikut numpang pa infoenergi

    pa rizky apa benar bapa terima buah jarak pagar…?
    bagaimana teknis transaksinya.
    nanti saya telp. dech

  12. Mungkin bermanfaat informasi dari kami.
    bisa dilihat pada Website kami.

    Terimakasih

  13. Ancaman kendala memang akan muncul di setiap adanya rencana baru, termasuk pemanfaatan bahan organik sebagai alternatif pegganti BBM. Namun, jika kita hanya membicarakan/memikirkan dampak yang akan timbul, itu dkatakan masih kurang aktif dalam berpikir. Hendakna jika kita mampu untuk mempertimbangkan kendala yang mngkin muncul, kita juga harusnya mampu memberika alternatif solusinya.
    Apakah hutan hanya terdapat di Sumatra dan Kalimantan saja, sehingga kita sangat khawatir dg punahnya keanekaragaman hayati. Bagaimana dengan wilayah Indonesia Tengah dan Timur seperti NTB sekitarnya?
    Masalah yang kita hadapi mengenai kelangkaan BBM sudah sangat jelas. Maka alternatif yang ada hendaknya dicarikan solusi pemanfaatannya agar dapat benar2 menutupi kelangkaan tsb, dan bukan mengemukakan kelemahan2 bahan alternatif tsb yang belum tentu itu terjadi seperti yang ditakutkan. Jadi intinya, memikirkan permaslahan yang jelas sudah jelas adanya lebih penting dibanding yang masih perkiraan, tanpa menafikan masalah yang akan timbul kemudian.

  14. 14 arif

    saya juga tertarik dengan penggunaan bahan bakan dari nabati dan ingin mengembanga dari tanaman tebu (nira tebu). saya mau tanya apakah sudah pernah ada yang menggunakan bahan bakudari nira tebu. pertanyaan selanjutnya adalah untuk memproduksi satu liter etanol dari nira tebu berapa bahan baku tebu yang dibutuhkan.

    sebelumnya terimaskih atas penjelasannya.

  15. 15 jurumertani

    Pembuatan biodiesel dari jarak pagar sangatlah tepat untuk kasus Indonesia karena tidak bersaing dengan masalah pangan. Membuat biodiesel sendiri gampang kok. Tidak perlu kursus dengan biaya mahal. Saya sedang menyiapkan sebuah risalah kecil tentang pembuatan biodiesel skala rumahan. Tunggu aja.

  16. 16 s-pol

    apakah ini bukannya sikap terhadap bbn ini adalah jawaban dari pertanyaan yang salah.
    persolannya adalah ada sebagaian kevil manusia di bumi ini yang menghabiskan energi sangat besar. seperti amerika yang yang menghabiskan 25 % dari total energi dunia.
    kurangi konsumsi d, pemerataan kekayaan dengan batasan maksimal kekayaan, bunuh koruptor dan perusak lingkungan hidup adalah solusi.

  17. 17 s-pol

    sudah pasti pendekatannya produksi nya adalah
    SAWIT karena itu yang paling menguntungkan
    bayangkan kalau kebutuhan makin besar dab dilema perubahan iklim apakah jadinya dengan hutan kita???
    bisa-bisa jadi lahan sawit semua…….
    pokoknya hukum mati koruptor dan perusak lingkungan

    lestariiiii……….

  18. 18 d2n

    bagaimana cara menbuat bahan bakar alternatip untuk kepentingan sendiri

  19. pada kekuatiran yang kedua tentang persaingan antara pangan dan energi, saya kurang sepakat.

    bila ditilik lebih dalam, indonesia sebenarnya tidak perlu khawatir akan kekurangan pangan dan energi pada masa yang bersamaan apalagi dalam bidang pertanian, khususnya dalam bidang CPO.-dengan catatan menerapkan kebijakan yang benar-

    data menunjukkan bahwa CPO indonesia hanya dikonsumsi sebesar 20 % dan sisanya diekspor. hal yang membuat harga minyak goreng meningkat ketika itu adalah karena efek spekulasi dan banyaknya CPO yang keluar tanpa pengawasan.

    demikian semoga dapat bermanfaat untuk kita semua
    bravo bioenergi!

  20. 20 Aan

    Bio energi dari Nabati oke-oke aja, pemakaiannya untuk masyarakat perdesaan atau untuk penduduk yang ada di perkotaan ? tapi bisakah bahan bakar tersebut merambah penduduk kota yang notabene ingin segala sesuatunya diperoleh dengan mudah. Perlu waktu untuk mendapatkan pasokan dalam jumlah yang besar. Harus diingat konservasi hutan harus selalu dijaga. Adakah usaha kearah itu ?

  21. nice info..!
    Thanks..

  22. Sebenarnya pengembangan jarak di Indonesia khususnya jawa tengah sudah lumayan berkembang, terbukti dengan adanya perusahaan swasta Pura Group Div. Engineering, Kudus yang telah mengembangkan tanaman jarak serta biofuel nya. Kegiatan penanaman dilakukan pada lahan kering +/- 4 hektar di daerah gunung kidul, wonogiri dan daerah sekitarnya. Dan hasil panen jarak dibuat menjadi biofuel bahkan biodiesel.
    Mesin- mesin yang digunakan diproduksi sendiri oleh Divisi Engineering antara lain: mesin pecah kulit, mesin press manual/ otomatis, mesin filter jarak, mesin pemurnian (biofuel), biodiesel.
    Sampai saat ini, Divisi Engineering bekerjasama bersama pemeritah daerah setempat men- supply mesin serta pelatihan daerah penghasil jarak seperti Grobogan, Wonogiri, NTT, NTB, dll.
    Hanya saja hal tersebut belum mendapat respon dan dukungan yang maksimal dari pemerintah pusat. Harusnya kegiatan tersebut lebih digalakkan sehingga masyarakat dapat merasakan manfaatnya.
    Demikian mungkin dapat menambah informasi tentang BBN. Terima kasih

  23. 23 sayid

    pengerusakan hutan karena alasan pengembangan bahan bakar nabati hanya merupakan alasan yg dibuat2 oleh sekelompok orang2 tertentu…. kebanyakan mereka hanya memanfaatkan kayu hasil lineclearing tersebut setelah itu tidak serius untuk pengembangan selanjutnya….
    mengenai pembukaan beribu2 ha lahan untuk pengembangan kelapa sawit bukan lah cara yg tepat, karena negara lain sebagai saingan kita dlm produksi cpo telah beralih ke tanman keras lainnya.. kita hanya latah dgn ikut2an mengembangkan kelapa sawit dgn besar2an. Dgn melimpahnya kelapa sawit harga nya pun dapt dengan mudah dipermainkan oleh pasar yg akhirnya petani2 kita juga yg menelan kerugian…
    inilah buruknya KAPITALISME…….


Tinggalkan Balasan ke Novi Batalkan balasan